Friday 31 October 2014

EKSKLUSIF : Kampanye berdarah, Jakarta 1982..



Kampanye berdarah, Jakarta 1982..
Oleh : Kanzia Rahman

the truth frontpage 01 

Jauh sebelum para jurnalis merasakan kebebasan, Indonesia pernah mengalami masa kapitalis di era Orde Baru, pada saat itu terjadi penyensoran media secara besar-besaran oleh pemerintah yang dikepalai presiden Indonesia kedua tersebut.

Berita ini saya dapat dari IndoCropCircles.wordpress.com, namun saya ubah dengan diksi saya sendiri.

A. Haryandoko D. seorang jurnalis yang pada tanggal 25 April 1982 berhasil mengabadikan momen-momen luar biasa yang (mungkin) tak akan pernah terekspos di media mengingat Kapitalisnya Indonesia disaat itu.

Minggu cerah, 25 April, tiga puluh dua tahun yang lalu.. sembilan hari sebelum pemilu legislatif 1982, masa dimana sedang panas-panasnya kampanye, terlebih pada saat itu hanya ada tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP.

Pukul 09.00, Beliau (A. Haryandoko D.) mengambil kamera Yashica SLRnya dan bergegas keluar dari rumahnya yang berdomisili di kawasan Cempaka Putih. Dia mungkin tak menyangka bahwa ia akan mendapat sebuah dokumentasi spektakuler nan eksklusif saat itu.

Ia menaiki sebuah bemo ke daerah Paseban di depan Universitas Indonesia di Salemba, lalu berjalan kaki menuju ke Pasar Senen.

Hari itu, giliran Partai Golar untuk berkampanye, namun sepertinya ada sesuatu yang aneh saat ia melihat orang-orang yang secara berkelompok berkumpul di depan Bioskop Grand, dari gelagat yang dilakukan, sepertinya akan terjadi sesuatu disana..

Karena perasaan tidak enak, ia lalu naik ke atas sebuah jembatan penyebrangan, yang berada didekat bioskop Grand.

Pawai pun melewati jalan tersebut, ia mengambil gambar dari mobil-mobil dan truk-truk pendukung Partai Golkar dari jembatan penyebrangan.


pemilu 1982_03

Yang berada diatas truk adalah orang-orang pendukung Golkar, sementara yang berkerumun di tepi jalan adalah massa pendukung PDI dan PPP.

Kedua massa, atau tiga, saling berbalas ejekan, truk pertama lewat namun truk kedua berhenti karena tidak tahan akibat ejekan massa PDI dan PPP.

Mengikuti truk kedua, truk terdepan pun ikut berhenti karena merasa bersama dengan massa yang cukup banyak.

pemilu 1982_02

Kebetulan yang sangat kebetulan. Di sebelah Bioskop Grand pada saat itu ada sebuah pembangunan ruko, sontak massa mengambil batu-batu dan mulai melemparkannya ke massa Golkar, tanpa mengurangi kuantitas ejekannya masing-masing.

Tanpa aba-aba, sebuah senapan berbunyi, peluru ditembakkan oleh polisi dan aparat yang berjaga.

Mendengar meletusnya suara ledakan, Dia langsung tiarap dan tetap mengambil foto. Desingan peluru makin banyak dan tak berhenti, terderngar aparat menembak kearah seberang jembatan penyebrangan. Massa pun lari kocar-kacir.

Rentetan senjata tak terdengar lagi, ia bangkit dan tetap mengambil foto.

pemilu 1982_04























Alhasil, di seberang Bioskop Grand, yang ada sebuah gedung yang baru dibangun, korban tewas bergelimpangan diikuti selongsong peluru yang menghiasi jalanan..

Tak mau kehilangan momentum, ia langsung mengambil foto secara cepat. Terlihat pada foto dibawah seoran laki-laki dengan kaos putih yang masih hidup dan mengecek luka tembakannya..

PEMILU 82_double pict victims

Hal yang sama terjadi pada pemuda dengan kaos bergaris-garis, kepalanya berdarah dan masih bergerak, namun tak terekam atau tak terlihat pada foto saat ia bergerak.

Terlihat juga seorang pemuda yang telah terkapar di dalam pagar bangunan. Punggungnya tertembus peluru, yang jelas bukan peluru karet.

 PEMILU 82_pict victims 02

Polisi dan aparat melarang para jurnalis untuk mengambil foto, dugaan kuat bahwa penyensoran media secara besar-besaran adalah penyebabnya.

Namun ia tetap mengambil foto, bahkan berhasil memotret polisi yang melarangnya tersebut. Aparat mulai mengejarnya, namun ia tak takut dan berlari menuruni jembatan penyebrangan sambil tetap mengambil foto dari kawasan insiden.


" Ketika saya berlari turun dari jembatan penyeberangan. Seseorang berambut gondrong dengan pakaian safari biru, memegang lengan saya dari belakang.

Lalu ia bertanya, “Apakah kamu mengetahui kejadian awalnya?”, tanya pria yang mencurigakan itu.

Seketika, saya mencium gelagat tidak baik dan langsung saya jawab, “Saya tidak tahu!”, sambil menepis tangan orang itu dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Sambil berjalan cepat, saya masih sempatkan mengambil foto-foto insiden sekitar Salemba dan Kramat. " - A. Haryandoko D. Saksi hidup kejadian 1982.
 Yang jelas, dan dengan sangat yakin, tragedi itu tak akan pernah ada yang berani memberitakannya, di media apapun juga. Memang sungguh menegangkan pada masa itu.

PEMILU 82_pict victims 03

Pasca insiden, beliau mencetak foto-foto yang ia ambil, rekan-rekan kantornya mengingatkan, "Hati-hati dengan foto-foto yang sangat sensitif itu."

Wajar, dikala Rezim Orde Baru merajalela, memang butuh sebuah pembungkaman besar-besaran terhadap media agar pemerintah tetap dianggap bersih.

Pemilu 1982 pun berakhir, Partai Golkar mendapatkan 242 kursi, dan peristiwa ini akan hilang seiring dimakan waktu..

Dan bagi anda, pembaca, semoga anda tidak pernah melupakan sejarah dan tetap curious terhadap masalah-masalah dunia..

 pemilu 1982_08


:)

1 comment: